#IndieMomWrittingContest
#TujuhLangkahMenujuMerdeka
Part 3 - Asa Dalam Diri
Seiring berjalannya waktu, aku pun masih ikut
kajian untuk menambah ilmu agamaku. Lalu, perlahan-lahan aku pun mulai berubah.
Meskipun belum sepenuhnya tapi aku sangat menjaga jarak dengan yang namanya lelaki.
Pergolakan dalam diriku pun berangsur-angsur membaik. Aku mulai berdamai dengan
diriku.
Aku membuat tembok tinggi agar
orang-orang tidak bisa memanjatnya. Kepribadianku makin lama makin tertutup.
Hingga semua orang yang mengenalku hanya tahu kalau aku itu orang yang judes.
Punya cara bicara yang ketus. Bahkan beberapa dari mereka menganggapku sombong.
Aku masa bodo dengan orang-orang sekitar.
Selama tidak merugikan, aku pun tidak perlu berinteraksi dengan mereka. Selama
tidak mengusik, aku juga tidak akan peduli dengan mereka.
Umurku sekarang dua puluh lima tahun. Kalau
saja Aleya tidak mengajak untuk melamar kerja di perusahaan ini, mungkin kami
tak akan pernah bertemu lagi. Aku bersyukur bertemu kembali dengannya. Aleya selalu
berusaha membimbingku ke arah yang lebih baik.
Aleya sekarang berjilbab lebar, sifatnya
makin bersahaja. Sisanya tidak ada yang berubah sama sekali.
“Min, tahu gak? Arya buat ulah lagi.”
Bisik Aleya.
“Anak mana lagi yang dia patahin
hatinya?” tanyaku malas mendengarnya.
Arya Hajime, Manager baru yang direkrut oleh Kamiya-san, bosku. Lelaki keturunan
Indonesia – Jepang itu berhasil membuat rekor bikin pegawai wanita klepek-klepek.
Dan dalam jangka waktu enam bulan sejak kedatangannya, ia sudah menolak empat
pegawai jomblo yang menyatakan cinta padanya.
Kebanyakan pegawai di kantorku adalah
wanita. Jadi, ketika ada pegawai baru laki-laki. Mereka menetapkannya sebagai
mangsa untuk diburu.
Arya adalah musuh bebuyutanku. Bahkan
kami disebut Tom dan Jerry. Entah kenapa, mau itu masalah pekerjaan, makanan
atau apapun juga, kami berdua tidak ada kecocokan. Selalu bertolak belakang.
“Anak marketing. Si Sofia.”
“Oh.”
“Kamu gak tertarik sama Arya? Dia’kan
keturunan Jepang. Bukannya dulu kamu suka banget sama hal yang berbau Jepang?
Bahkan, aku inget banget kamu pengen nikah sama orang Jepang.” Aleya terkekeh.
“Ihh, becanda kamu Al!. Kamu tahu, aku
dan Arya itu gak sepaham.” Ujarku sambil menunjukkan ekspresi jijik. Aleya
tertawa.
“Eh, hati-hati kalau bicara Min. Siapa tahu’kan?. Dari benci bisa jadi cinta lho.” Kata Aleya mewanti-wanti.
“Plis deh ah, jangan ngaco Al.”
“Hehehe. Kalau gitu apalagi yang masih
kamu suka dari Jepang?”
“Aku dulu emang suka sama hal yang berbau
Jepang. Tapi sekarang biasa aja sih. Aku cuma kagum aja sama negaranya, kebudayaannya.
Disiplin, teratur, tertib dan gigihnya. Kayaknya tuh, rakyatnya sangat cinta
sama negaranya gitu. Dan mereka bangga dengan produk buatan mereka sendiri. Selain
itu udah biasa aja sih. Tapi, keinginan untuk tinggal di Jepang masih ada Al.” Jawabku
sambil menatap wallapaper bunga
sakura yang gugur di laptopku.
“Oh.. Terus sekarang udah pensiun baca
komik dan nonton kartun dong?”
“Wah, kalau itu sih nggak dong. Itu adalah hiburanku dikala mumet
ama kerjaan kantor. Cuma, aku mulai membatasi beli pernak-perniknya. Uangnya
kubelikan buku-buku agama dan novel religi Al.”
“Jadi sekarang udah gak mau cari suami
orang Jepang?”
“Kalau itu sih..”
Obrolan kami terputus karena telepon
mejaku berdering. Arya memintaku untuk datang ke ruangannya. Dengan membawa
laptop dan buku catatan.
“Aduh, firasatku gak enak nih.”
Ruangannya ada di lantai bawah. Ketika
berjalan menuju kesana, seluruh mata tertuju padaku. Mereka mungkin berpikir, Tom
dan Jerry pasti berkelahi. Aku menghela nafas panjang. Sungguh berat untuk
masuk ke ruangannya. Apalagi di jam segini.
Aku jadi teringat ketika rapat mingguan
pertama kali, aku dan Arya berdebat tiada henti. Dalam rapat tiga bulanan juga.
Kami punya pemikiran dan data yang berbeda.
Aku menghela nafas panjang lagi.
Aku mengetuk pintu kacanya. Ia pun
menyuruhku masuk. Aku terkejut. Wajahnya kusut. Rambut-rambut halus mulai
tumbuh tak beraturan disanaa. Lingkaran hitam di bawah matanya juga mulai
nampak jelas.
Sudah berapa lama ia tak cukuran? Dia
juga begadang terus kali ya?. Tanyaku dalam hati.
Aku menaruh laptopku diatas sebuah meja
panjang berkursi enam. Meja yang biasa dipakai untuk rapat kecil di ruangannya.
Aku masih berdiri di sampingnya, belum berani duduk. Arya menoleh padaku dan
mempersilahkanku duduk.
“Coba buka file yang saya kirim barusan.”
Aku pun membuka file yang ia kirim. Betapa kagetnya diriku, ketika file itu terbuka. Banyak sekali catatan
merahnya. Ia pun melemparkan beberapa lembar kertas yang dicorat-coret.
“Pak Arya! Bisa-bisanya bapak ngacak-acak
file yang sudah saya buat?” kataku
dengan emosi yang memuncak pada Arya.
“Saya minta revisi semuanya!” jawab Arya dengan
nada tinggi sembari menatapku tajam.
“Tapi pak..!”
“Kamu pikir data yang kamu pakai itu bisa
digunakan? Resikonya sangat besar!”
“Tapi saya sudah melakukan research. Data itu semua valid dan bisa digunakan.”
“Tidak! Revisi semuanya. Pakai data ini.
Lebih aman.”
“Tapi’kan
presentasinya lusa. Kalau nggak keburu gimana?”
Aku melirik jam dinding. Waktu
menunjukkan pukul empat sore.
“Bisa. Masih ada waktu sampai besok siang,
sebelum diberikan pada Kamiya-san.”
“Tapi..”
“Tidak ada tapi-tapi. Kerjakan sekarang!
Kalau perlu, lembur!” perintahnya.
Uugghh! Aku kesal! Dasar sinting!
Bisa-bisanya dia menyuruhku lembur. Padahal selama ini aku tak pernah lembur.
“Aku selalu menyelesaikan pekerjaanku
tepat waktu, dan semua yang kukerjakan juga bukan asal-asalan. Tapi kenapa
malah di revisi semua?. Andai saja
ibu Maria gak berhenti. Beliau pasti sudah mengapresiasi kerjaku. Uugghh..”
Dalam hati aku mencak-mencak. Emosi sudah
naik ke ubun-ubun.
Aku pun buru-buru mengabari Aleya, kalau
aku disuruh lembur. Supaya dia pulang lebih dahulu.
Adzan maghrib pun berkumandang. Aku
melirik Arya yang sedang fokus menatap layar komputernya. Namun, ia tak
menunjukkan tanda-tanda akan beranjak pergi untuk sholat.
“Pak..”
Arya menjawab dengan dehaman tanpa
menoleh,
“Izin salat dulu.” Kataku ketus.
Arya akhirnya menoleh padaku. Ia bergantian
melihat jam dinding lalu menatapku bingung.
“Pak?”
“Salat?”
Aku memutar bola mataku. Mencerna
pertanyaannya.
“Iya. salat.”
“Sekarang?”
“Iya. barusan adzan pak.”
“Lama?”
“Hmm.. Tergantung.”
Hening sejenak. Arya seperti sedang
memikirkan sesuatu.
“Pak?”
“Oh, iya silahkan.”
“Hmm.. Bapak gak salat?”
“Hah? Oh, hmm.. nanti.”
Arya tercenung.
Ketika aku menutup pintu kaca dan tak
sengaja melirik padanya. Tatapannya kosong.
Ada yang aneh dengannya. Aku yakin kalau
di KTP agamanya Islam. Tapi kenapa pas diajak sholat, ia seperti orang bingung
ya?. Banyak teman-temanku yang Islam KTP tapi mereka biasa aja dengan
pertanyaan ‘gak sholat?.’ Bahkan mereka bisa menjawab berbagai macam alasan
dengan santai.
“Tapi kenapa ekspresi Arya seperti itu ya?.”
Aku membatin.
“Ah, sudahlah. Bukan urusanku juga.”
Aku pun melenggang melewati koridor
ruangan yang sepi. Semua orang sudah pulang. Tinggallah aku dan Arya yang masih
berkutat mengerjakan revisian data.
Agak sedikit horror juga ya, kalau berada di ruangan yang sepi begini. Tiba-tiba
saja muncul pikiran yang aneh-aneh. Namun, aku menepisnya dan buru-buru ambil
wudhu dan salat.
Waktu berlalu begitu cepat. Tak jarang
aku dan Arya berdebat seru mengenai data milik kami masing-masing. Arya pun sudah
berpindah tempat. Ia duduk di sampingku sekarang. Sesekali hembusan nafasnya
menggelitikku ketika berdiri di belakangku memeriksa laporan yang sedang diketik.
Sungguh tak nyaman. Membuatku canggung. Sesaat aku lupa apa yang harus aku
tambahkan dalam kalimat. Ngeblank.
“Sial!”
Karena ingin praktis, kami hanya makan
malam dengan mi instan. Suara detik jam dinding makin lama makin nyaring. Aku
melirik padanya, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat sepuluh malam.
Pantas saja mataku sudah tak kuat menatap layar laptop. Kepalaku mulai pening.
“Kita lanjut besok. Sudah malam.
Pulanglah.” Ujar Arya memecah keheningan.
“Ya pak.” Jawabku singkat.
Aku segera berkemas. Membereskan semua
barangku. Arya masih duduk di kursi empuknya, tidak menunjukkan tanda akan beranjak
pulang.
“Rumahmu dimana?”
“Daerah kebayoran pak.”
Hening lagi. Setelah selesai membereskan
barangku, aku pun pamit.
“Tunggu. Saya antar.”
“Ha?”
Bersambung..
Komentar
Posting Komentar